28 March 2011

Kisah Nabiyulloh Musa a.s.



Nabiyyulloh Musa a.s.
Keluar Dari Mesir Dalam Keadaan Takut Dan Was-Was

Kisah nabi Musa ‘alaihis salam mengambil banyak bagian dari kitabulloh, sejak beliau masih kecil hingga masa muda, kemudian diangkat menjadi rosul, hingga menghadapi Fir’aun…dst. Di antara kisah itu adalah larinya beliau dari kejaran Fir’aun dan balatentaranya ketika ada seseorang memberitahu kepadanya mengenai rencana yang dibicarakan oleh garda keamanan Fir’aun.

Mendengar itu, beliau tidak kemudian menyerahkan diri, tapi langsung keluar dari kota dan pergi ke kota Madyan. Maka Allohpun memudahkan urusan beliau di sana, beliau menikah dan tinggal di sana hingga habis masa beliau bekerja kepada mertuanya, Syuaib, yakni selama lebih dari delapan tahun. Setelah itu, Alloh ta’ala mengutus beliau serta memberikan anugerah kepadanya berupa hukum dan ilmu.
فَفَرَرْتُ مِنكُمْ لَمَّا خِفْتُكُمْ فَوَهَبَ لِي رَبِّي حُكْمًا وَجَعَلَنِي مِنَ الْمُرْسَلِينَ
Lalu aku lari meningggalkan kalian ketika aku takut kepada kalian, kemudian Robbku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rosul-rosul. (Asy Syu’aro’: 21)
Di dalam kisah di atas terdapat pelajaran dan ibroh bagi siapa saja yang menghendaki adanya perubahan yang mengakar bagi realita yang sekarang sedang dialami oleh umat Islam, serta menginginkan kebangkitan kaum muslimin dari pijakan kehinaan yang kini mereka derita. Alloh ta’ala berfirman:
وَجَاء رَجُلٌ مِّنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ يَسْعَى قَالَ يَا مُوسَى إِنَّ الْمَلَأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ * فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفاً يَتَرَقَّبُ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ * وَلَمَّا تَوَجَّهَ تِلْقَاء مَدْيَنَ قَالَ عَسَى رَبِّي أَن يَهْدِيَنِي سَوَاء السَّبِيلِ * وَلَمَّا وَرَدَ مَاء مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِّنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاء وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ * فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ * فَجَاءتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاء قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ * قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ * قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ * قَالَ ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا الْأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ
Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata:”Hai Musa, sesungguhnya para pembesar negeri sedang berunding untuk membunuhmu, oleh karena itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu”. Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut dan was-was, dia berdo’a: “Wahai Robbku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang dholim itu”. Dan tatkala ia menghadap ke jurusan negeri Madyan ia berdo’a (lagi): “Mudah-mudahan Robbku memimpinku ke jalan yang benar”. Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia di sana menjumpai sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya).Musa berkata:”Kalian berdua kenapa?” Kedua wanita menjawab:”Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdo’a: “Wahai Robbku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”. Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu, ia berkata: “Sesungguhnya bapakku memanggil kamu untuk memberi balasan kepadamu atas kebaikanmu memberi minum ternak kami”. Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu’aib berkata: “Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang dholim itu”. Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Wahai bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”. Berkatalah dia: “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Alloh akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”. Dia (Musa) berkata: “Inilah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Alloh adalah saksi atas apa yang kita ucapkan”. (Al Qoshosh: 20-28)

Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: Maka Fir’aunpun mengutus para tukang jagal guna membunuh Musa. Mereka berjalan dengan tenang di jalan paling besar untuk memburu Musa, tidak ada perasaan khawatir dalam diri mereka akan kehilangan Musa. Maka datanglah seorang lelaki dari bangsa Musa dari ujung kota, ia memotong jalan hingga bisa menemui Musa lebih dahulu daripada para penjagal tadi, tanpa pikir panjang ia segera memberitahu Musa. Semua itu termasuk ujian … Musapun keluar menuju ke arah Madyan, beliau tidak mendapatkan ujian sebelum itu, ia juga tidak tahu jalan, dan tidak ada yang ia andalkan selain rasa husnu dz-dzonn dia kepada robbnya ta’ala, ia mengatakan:
عَسَى رَبِّي أَن يَهْدِيَنِي سَوَاء السَّبِيلِ * وَلَمَّا وَرَدَ مَاء مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِّنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ
“Mudah-mudahan Robbku memimpinku ke jalan yang benar”. Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya).
Maksud dari ayat ini adalah kedua wanita tersebut menahan kambing-kambingnya. Maka Musa berkata kepada mereka berdua: “Mengapa kalian memisahkan diri, tidak memberi minuman kambing seperti yang lain?” “Kami tidak kuat berdesakan dengan orang, kami hanya memberi minum dari sisa air yang telah mereka gunakan.” Maka Musapun memberikan minum kambing mereka, ia menciduk air begitu banyak sampai beliaulah penggembala kambing yang pertama. Kedua wanita itupun pergi membawa kambingnya kepada ayah mereka. Sementara Musa ‘alaihis salam pergi berteduh di bawah sebatang pohon sembari mengatakan,
رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
“Wahai Robbku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”.
Sementara itu, ayah dari kedua perempuan tadi tidak percaya, cepat sekali mereka datang bersama kambingnya dalam keadaan penuh susunya dan kenyang, ia mengatakan,”Kalian pasti mengalami sesuatu hari ini.” Maka keduanyapun memberitahu apa yang baru saja dilakukan Musa. Maka sang ayahpun menyuruh salah satu dari keduanya untuk memanggil Musa. Berangkatlah satu orang mendatangi dan memanggil Musa.Ketika sang ayah bertemu dan berbicara langsung dengan Musa, ia mengatakan, “Jangan takut, kini kamu selamat dari kaum dholim; Fir’aun dan balatentaranya tidak berkuasa sedikitpun atas kita, kami tidak dalam kekuasaanya.” Kemudian salah seorang dari putrinya mengatakan, “Hai ayah, pekerjakanlah dia, sesungguhnya orang terbaik yang kau pekerjakan adalah yang kuat lagi terpercaya.” Sang ayah penasaran, ia bertanya kepada si putri: “Kekuatan dan sikap terpercaya apa yang kau ketahui darinya?” Putrinya menjawab: “Adapun kekuatan, maka ketika aku menyaksikannya mengangkat timba di saat ia memberi minum kambing kami; belum pernah aku melihat seorang lelaki yang lebih kuat daripada dia ketika itu. Sedangkan sikap terpercaya, sesungguhnya ia melihat ke arahku ketika aku menghadap ke arahnya dan kupandang dia, maka tatkala ia tahu bahwa aku adalah wanita, ia segera menundukkan pandangannya dan tidak mengangkatnya hingga surat Anda kusampaikan kepadanya.
Kemudian ia berkata kepadaku, Berjalanlah di belakangku dan berilah tanda jalan kepadaku.’ Tidak ada yang melakukan perbuatan seperti ini kecuali orang yang terpercaya.”Hal itupun dapat menghilangkan kesedihan ayahnya, ia percaya dengan kata-kata putrinya dan ia yakin bahwa Musa itu sesuai dengan apa yang dikatakan putrinya. Maka sang ayahpun mengatakan kepada Musa, “Maukah kamu …
أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
… kunikahkan engkau dengan salah satu putriku dengan syarat engkau menjadi pekerjaku selama delapan tahun. Jika engkau mau menggenapkan sepuluh tahun, itu terserah engkau dan aku tak ingin memberatkan dirimu. Insya Alloh, engkau dapati aku termasuk orang-orang sholeh.”
Musapun mau melaksanakannya, sang nabi Alloh Musa mendapatkan kewajiban selama delapan tahun, ini yang wajib. Sedangkan yang dua tahun adalah tambahan dari beliau, maka Allohpun menetapkan agar Musa menjalani tambahannya, sehingga beliau menyempurnakan selama sepuluh tahun.”
Sayyid Qutb rohimahulloh berkata seputar ayat ini, “Ketika itu, seorang lelaki datang kepada Musa dari ujung kota terjauh untuk mengingatkan beliau akan rencana para petinggi Fir’aun, dan menyarankan agar beliau keluar dari kota demi keberlangsungan hidup beliau:
وَجَاء رَجُلٌ مِّنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ يَسْعَى قَالَ يَا مُوسَى إِنَّ الْمَلَأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ
Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata: “Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu”. (Al Qoshosh: 20)
Sungguh, semua itu adalah uluran tangan takdir (takdir Alloh) yang memancar pada saat yang diharapkan untuk terlaksannya keinginan dia!
Para petinggi Fir’aun, yaitu para tokoh pendukungnya, pegawai pemerintahan dan orang-orang terdekatnya, mengetahui bahwa ini adalah ulah Musa. Tak diragukan lagi, mereka merasa berada dalam kondisi bahaya. Itu merupakan perbuatan yang biasanya berbau revolusi dan perlawanan serta pembelaan terhadap Bani Israil, berarti itu adalah gejala berbahaya yang mesti dibicarakan. Kalau itu hanya pembunuhan biasa, tidak perlu menyita perhatian Fir’aun dan para petingginya. Maka taqdir menentukan salah seorang di antara mereka untuk pergi, menurut pendapat yang kuat dia adalah seorang lelaki beriman dari pengikut Fir’aun yang menyembunyikan imannya. Sedangkan yang disebutkan di dalam surat Ghofir ia pergi untuk menemui Musa,
مِّنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ
dia berasal dari ujung kota.
dalam keadaan serius, penuh perhatian dan segera, untuk memberitahu kepadanya sebelum pasukan kerajaan sampai kepadanya:
إِنَّ الْمَلَأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ
… sesungguhnya para pembesar negeri ini sedang berunding untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu”.
فَخَرَجَ مِنْهَا خَائِفاً يَتَرَقَّبُ قَالَ رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Maka keluarlah Musa dari kota itu dengan rasa takut dan was-was, dia berdo’a: “Wahai Robbku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang dholim itu”.
Sekali waktu, sekilas kita lihat ada satu ciri cukup jelas yang ada di dalam sebuah pribadi nan emosional, selalu siaga dan waspada. Sikap segera menghadapkan diri untuk meminta kepada Alloh, mencari perlindungan serta penjagaan-Nya, berlindung kepada lindungannya di saat tercekam rasa takut, serta merasakan rasa aman dan selamat ketika berada di sisi-Nya:
رَبِّ نَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Wahai Robbku, selamatkanlah aku dari orang-orang yang dholim itu”.
Kemudian disertai konteks bahwa beliau keluar dari kota, dalam keadaan takut dan was-was, seorang diri, tidak memiliki bekal selain rasa bersandar kepada Sang Majikannya, menghadapkan diri kepada-Nya dalam rangka memohon pertolongan sekaligus petunjuk dari-Nya:
وَلَمَّا تَوَجَّهَ تِلْقَاء مَدْيَنَ قَالَ عَسَى رَبِّي أَن يَهْدِيَنِي سَوَاء السَّبِيلِ
Dan tatkala ia menuju negeri Madyan ia berdo’a: “Mudah-mudahan Robbku menuntunku ke jalan yang benar”.
Sekilas juga kita lihat bagaimana kepribadian Nabi Musa ‘alaihis salam yang hanya seorang diri, benar-benar seorang diri, beliau terusir di jalanan-jalanan padang pasir menuju ke arah Madyan, daerah selatan Syam dan utara Hijaz, sebuah jarak perjalanan yang sangat jauh, tanpa bekal tanpa persiapan. Beliau keluar dari kota dalam keadaan takut dan merasa terawasi, keluar dalam keadaan tidak tenang dengan peringatan yang disampaikan oleh si lelaki yang memberikan saran kepadanya tadi, beliau tidak diam sejenakpun, tidak sempat berbekal dan tidak mengangkat seorang guide. Dari sini kita bisa saksikan secara sekilas saja akan sebuah jiwa yang selalu menghadapkan diri kepada tuhannya, pasrah kepada-Nya, melihat kepada petunjuk-Nya:
عَسَى رَبِّي أَن يَهْدِيَنِي سَوَاءالسَّبِيلِ
“Mudah-mudahan Robbku memimpinku ke jalan yang benar”.
… sekali waktu, kita juga temukan sosok Nabi Musa ‘alaihis salam berada dalam hati yang takut setelah sebelumnya sedikit mengecap rasa aman. Tak sekedar itu, bahkan kehidupan mewah, kelembutan dan kenikmatan. Kita lihat, bagaimana beliau tidak memiliki kekuatan fisik sedikitpun, beliau diusir oleh Fir’aun dan balatentaranya, mereka mencari-carinya di mana saja, untuk memberikan kepadanya sesuatu yang lain dengan apa yang pernah mereka berikan kepadanya di masa kecil. Namun tangan yang melindungi dan menjaga beliau pada saat itu juga menjaga dan melindungi pada saat sekarang, dan tidak akan pernah menyerahkannya kepada musuh-musuh-Nya sampai kapanpun. Inilah Musa, beliau menapaki jalan panjang, dan sampai ke negeri yang tidak bisa dijangkau oleh tangan yang kejam:
وَلَمَّا وَرَدَ مَاء مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِّنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِن دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاء وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ * فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Kalian berdua kenapa?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdo’a: “Wahai Robbku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”.
Perjalan panjang yang telah ia tempuh, kini berakhir di mata air milik bangsa Madyan. Ia sampai dalam keadaan lelah dan letih. Ternyata di sana ia malah melihat sesuatu yang tidak nyaman dilihat oleh jiwa yang kesatria, yang fitrhahnya sehat, seperti jiwa Musa ‘alaihis salam ; ia menyaksikan para penggembala dari kaum lelaki yang menggiring binatang-binatang ternaknya agar bisa minum air, lantas di sana ada dua orang perempuan yang tidak menggiring kambingnya ke mata air. Padahal bagi orang yang memiliki jiwa kesatria dan fitroh yang sehat pasti mengatakan, seharusnya dua wanita itu dululah yang menggiring kambingnya, dan seharusnya kaum pria mempersilahkan dan memberikan kemudahan kepada mereka berdua.
Musa, yang berstatus pelarian dan terusir, musafir yang sedang kepayahan itu tidak lantas duduk berpangku tangan sementara ia menyaksikan kemungkaran yang menyelisihi kemakrufan ini. Tapi ia maju kepada kedua wanita itu dan bertanya tentang keadaan keduanya yang aneh:
قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاء وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
“Kalian berdua kenapa?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”.
Mereka berdua memberitahu Musa mengenai sebab dari tersingkir dan keterlambatan serta mengapa mereka menahan dombanya untuk mendatangi air. Sebabnya adalah karena lemah, keduanya adalah wanita sedangkan para penggembala itu lelaki. Sementara ayahanda dari keduanya adalah orang yang sudah tua, ia tidak sanggup menggembala dan berdesakkan dengan kaum pria! Maka bergejolaklah emosi dan fitroh Musa yang sehat. Akhirnya ia maju untuk meletakkan perkara sesuai tempatnya. Ia maju untuk lebih dahulu memberi minum kambing kedua wanita itu.
Selayaknya yang harus dilakukan para rijal yang memiliki keberanian, sementara Musa adalah orang asing di daerah yang tidak ia kenal, tidak memiliki pendukung dan penolong, sedangkan ia sendiri dalam keadaan lelah yang baru saja datang dari perjalanan panjang, tanpa bekal tanpa persiapan, ia adalah orang yang terusir, di belakangnya ada para musuh yang tak memiliki belas kasihan. Tapi, semua ini tidak lantas menjadikannya berpangku tangan untuk menyambut dorongan rasa kebaikan diri, rasa peduli untuk menolong dan berbuat makruf, serta mengakui kebenaran alami yang jiwa pasti mengenalinya, akhirnya:
فَسَقَى لَهُمَا
Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya …
Yang mana, ini menunjukkan akan sebuah jiwa mulia yang terbentuk oleh tangan Alloh. Sebagaimana ia juga dihiasi dengan kekuatannya yang menakutkan hatta meskipun beliau berada dalam kepayahan perjalanan panjang. Barangkali, kekuatan jiwanya yang dilihat oleh hati para penggembala itu, lebih membuat mereka takut daripada kekuatan fisiknya. Sebab, manusia itu jauh lebih terkesan dengan kekuatan ruh dan hati.
ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ
Kemudian dia kembali ke tempat yang teduh
Yang ini menunjukkan, waktu sedang dalam kondisi yang sangat panas, safar yang beliau tempuh berarti juga dalam kondisi yang sangat panas seperti ini…
فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
Maka ia berdo’a: “Wahai Robbku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”.
Beliau berteduh pada sebuah naungan nyata yang mendinginkan badannya, sekaligus pada naungan yang luas terbentang; yaitu naungan Alloh Yang Mahamulia lagi Mahamemberi anugerah, dengan ruh dan hatinya:
رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
“Wahai Robbku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”.
Robbku, aku dalam keadaan gerah, aku fakir, aku seorang diri, aku lemah, aku sangat butuh kepada anugerah dan pemberian-Mu.
Dari ungkapan ini, kita bisa mendengar bagaimana bergantungnya hati beliau, bagaimana rasa bersandar beliau kepada perlindungan Dzat Yang memberi keamanan, pelindung yang kokoh, naungan yang sangat teduh. Kita bisa dengarkan bagaimana munajat yang dekat, bisikan lirih, perasaan yang akrab, hubungan yang dalam:
رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ
“Wahai Robbku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku”.
Hampir saja kita larut tenggelam bersama Musa ‘alaihis salam dalam satu ekspresi munajat sampai-sampai ungkapan itu segera menunjukkan sebuah pemandangan akan adanya jalan keluar, tersusul dengan ungkapan menggunakan huruf “fa’” (lalu), seolah langit segera memberi sambutan kepada hati yang tunduk dan terasing.
فَجَاءتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاء قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا
Lalu datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu, ia berkata:”Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadapku atas kebaikanmu memberi minum ternak kami”.
Duhai, jalan keluar dari Alloh, alangkah dekatnya ia, duhai seruan dia! Itulah solusi berupa panggilan dari seorang tua renta, sebagai bentuk pengkabulan doa dari langit untuk Musa yang fakir. Sebuah panggilan untuk memberi tempat “escape”, untuk sebuah kemuliaan serta balasan atas kebaikan dia. Panggilan yang dibawa oleh salah seorang dari kedua putri yang datang kepadanya sembari berjalan malu-malu, gaya berjalan seorang wanita muda yang suci, bermartabat, menjaga kesucian lagi bersih tatkala ia menemui kaum pria: Dalam keadaan malu.
Tanpa berlebihan, tabarruj (menampakkan perhiasan), tampil wah maupun hal-hal yang dapat mengundang fitnah. Ia datang kepada Musa untuk menyampaikan panggilan dengan kata-kata yang sangat ringkas, paling singkat namun paling jelas, ini dikisahkan Al-Qur’an dengan firman-Nya:
إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا
“Sesungguhnya bapakku memanggil kamu untuk memberi balasan kepadamu atas kebaikanmu memberi minum ternak kami”.
Dengan rasa malu, namun memberikan keterangan yang jelas, rinci dan gamblang; tidak gagap, membingungkan dan kacau. Ini tentunya juga terilhami oleh fithroh yang bersih, sehat dan lurus. Seorang wanita yang lurus, secara fitroh pasti malu ketika bertemu dan berbincang dengan kaum pria. Namun, karena ia yakin dengan keterpercayaan, kesucian dan keistiqomahan dirinya sendiri, ia tidak goncang. Tidak goncang dengan kegoncangan yang menunjukkan ketamakan, keterpukauan dan emosi yang meluap-luap; ia hanya berbicara secukupnya secara jelas, tak lebih dari itu.
Konteks kisah yang kita baca berhenti sampai pada pemandangan ini, tidak menyisakan tempat selain untuk sebuah panggilan dari seorang wanita muda dan sambutan dari Musa. Kemudian, disusul dengan sebuah pemandangan pertemuan antara Musa dan seorang yang sudah tua, di mana tidak ada nash yang menyebutkan siapa nama orang tua itu sebenarnya. Ada yang mengatakan, dia adalah keponakan Syu’aib, seorang Nabi yang cukup masyhur itu, namanya adalah Yatsrun.
فَلَمَّا جَاءهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لَا تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِين َ
Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), ia berkata: “Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang dholim itu”.
Padahal Musa sedang butuh-butuhnya kepada rasa aman, sebagaimana ia juga sedang butuh kepada makanan dan minuman. Namun, hajatnya kepada rasa aman jauh lebih besar ketimbang kebutuhannya kepada bekal jasmani. Di antara hal yang paling mengindikasikan hal itu dari konteks ayat di atas adalah perkataan orang tua yang teduh itu:
لَا تَخَفْ
“Jangan takut.”
Ia menjadikan ini sebagai kata pertama setelah Musa selesai mengisahkan perihal dirinya, hal itu untuk menanamkan rasa tenang dalam hati Musa, agar ia merasa aman. Setelah itu, barulah ia mengatakan dan memberikan argumen mengapa ia mengatakan seperti itu:
نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Kamu telah selamat dari kaum yang dholim itu.”
Mereka tidak punya kuasa atas negeri Madyan, mereka tidak akan dapat menyebarkan gangguan dan marabahaya kepada penduduk negeri tersebut.
Setelah itu, kita mendengar lantunan suara dari pribadi wanita yang lurus dan sehat:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata:”Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.
Ia dan saudara perempuannya merasakan betul payahnya menggembala kambing, yang harus berdesakan dengan kaum pria untuk berebut air dan tekanan batin yang pasti ada pada diri wanita yang menangani pekerjaan kaum pria. Dia merasa tak nyaman dari semua ini, demikian juga saudara perempuannya. Ia ingin menjadi wanita yang diam di dalam rumah, seorang wanita yang menjaga ‘iffah dan yang menutup diri, tidak bercampur dengan para lelaki asing di tempat gembala dan air, menjadi wanita yang suci jiwanya dan bersih hatinya, sehat fithrohnya, tidak merasa nyaman dengan berdesakan dengan kaum pria, juga dengan pengorbanan yang menjadi konsekuensi dari berdesakan.
Inilah dia, seorang pemuda terusir yang dalam waktu bersamaan ia adalah sosok yang kuat lagi terpercaya. Ia melihat sendiri kekuatannya yang membuat para penggembala lain menjadi gentar sehingga membukakan jalan untuknya guna memberikan minum kambing kedua wanita tersebut. Padahal dia orang asing, sedangkan orang asing itu bagaimanapun lemah meski seperkasa apapun dia. Ia juga melihat sikap amanahnya yang membuat dirinya menjaga lisan dan pandangan ketika dirinya menghadap untuk memanggilnya. Maka, ia memberikan saran kepada sang ayah agar mengangkatnya sebagai pekerja menggantikan dirinya dan saudara perempuannya dalam memikul beban pekerjaan, berbaur dengan kaum laki-laki dan kerja keras. Musa itu kuat dalam bekerja, terpercaya dalam urusan harta, sebab orang yang terpercaya dalam menjaga kehormatan, pasti terpercaya dalam urusan lain. Sang putri ini tidak gagap maupun ‘keder’ dalam menyampaikan saran ini. Tidak khawatir akan mendapat persangkaan buruk dan tuduhan. Dia adalah wanita berjiwa suci dan berperasaan bersih. Oleh sebab itu, ia tidak takut apapun, tidak komat-kamit atau berbicara secara tidak jelas, ketika ia menyampaikan sarannya kepada sang ayah.
Untuk membuktikan kekuatan Musa, kita tidak memerlukan berbagai kisah yang diriwayatkan para ahli tafsir, seperti kemampuannya mengangkat batu yang menutup sumur yang mana batu itu –kata mereka– tidak bisa diangkat kecuali oleh duapuluh atau empat puluh orang, atau kurang atau lebih dari jumlah itu. Sebenarnya, sumur itu tidak tertutup, yang terjadi sebenarnya adalah para penggembali itu sedang memberi minum kambingnya kemudian Musa menyuruh mereka menyingkir dan iapun memberi minum kambing kedua wanita tersebut, atau kemungkinan lain ia memberi minum kambing mereka berdua berbarengan dengan para penggembala yang lain.
Kita juga untuk membuktika sifat amanah Musa kita tidak memerlukan berbagai kisah yang diriwayatkan para mufassir, seperti perkataan Musa kepada wanita: “Berjalanlah di belakangku dan tunjukkanlah jalan.” Lantaran ia khawatir akan melihat wanita itu. Atau pendapat yang mengatakan bahwa Musa mengatakan hal itu setelah ia terlebih dahulu berjalan di belakang si wanita, kemudian angin menyingkap bajunya sehingga terlihat matakakinya … semua ini adalah sikap memberat-beratkan diri yang tidak perlu serta akan membawa kerancuan yang sebenarnya tidak ada. Sedangkan Nabi Musa ‘alaihis salam itu adalah seorang yang menjaga kesucian pandangan dan bersih perasaannya, demikian juga dengan wanita itu. Sedangkan rasa iffah dan amanah itu tidak memerlukan sikap terlalu memaksakan diri seperti ini dikala seorang lelaki berjumpa dengan seorang wanita. Sikap ‘iffah akan senantiasa tersirat di dalam perilaku kebiasaan tanpa membebani diri dan dibuat-buat!
Kita lanjutkan, orang tua itu akhirnya menerima saran putrinya itu. Mungkin, ia bisa merasakan adanya rasa saling percaya antara putrinya dan Musa, kecenderungan yang wajar serta sehat, yang cocok untuk pembinaan keluarga. Sedangkan sifat kuat dan amanah itu ketika berkumpul menjadi satu dalam diri seorang lelaki, tak diragukan lagi akan disenangi oleh naluri wanita yang bersih dan belum rusak maupun terkontaminasi atau menyimpang dari fitroh Alloh. Maka sang orang tuapun mengumpulkan antara tujuan dari keduanya masing-masing, dan iapun menawarkan kepada Musa untuk menikahkannya dengan salah satu dari kedua putrinya dengan syarat ia harus membantu dan menggembalakan dombanya selama delapan tahun. Kalau ia masih mau menambah sampai sepuluh tahun, ia mempersilahkan namun tidak mengharuskan hal itu kepadanya.
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَن تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِندِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِن شَاء اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
Berkatalah dia: “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Alloh akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”.
Demikianlah, dengan simpel dan jelas, seseorang menawarkan salah satu putrinya tanpa mengekang, barangkali –sebagaimana kami sebutkan semula– Musa merasa bahwa wanita itu terkekang dengan batas tertentu, dan dialah wanita yang terjalin interaksi dan kepercayaan antara hatinya dan hati sang pemuda bernama Musa itu. Ya, orang itu menawarkan putrinya tanpa seperti ada beban atau memelintir kata-kata. Ia menawarkan pernikahan kepadanya tanpa merasa malu. Ia tawarkan proyek pembinaan keluarga dan rumah tangga, sehingga dalam urusan seperti ini ia tidak perlu merasa malu, tidak perlu memberatkan diri, ragu atau memberi isyarat dari kejauhan atau kesan dibuat-buat dan memaksakan diri sebagaimana yang kita saksikan dalam lingkungan yang sudah menyimpang dari fithroh yang lurus, yang tunduk kepada sikap tradisi-tradisibikinan yang batil lagi tidak berharga, yang mana seorang ayah atau wali menolak maju meminang orang yang baik akhlak dan agamanya serta tanggungjawab untuk putrinya, saudarinya atau kerabat wanitanya; ia mengharuskan calon suami atau walinya atau wakilnya yang maju untuk meminang, atau yang beranggapan bahwa penawaran itu tak layak jika datang dari fihak wanita!
Di antara perbedaan yang sangat menonjol dari lingkungan masyarakat seperti ini adalah adanya pemuda dan pemudi yang diizinkan bertemu, saling berbincang, berikhthilath, dan satu sama lain saling melihat tanpa ada tujuan yang pasti untuk meminang atau niat menikah. Di saat ditawarkan pinangan, atau diingatkan tentang nikah, maka segera muncul sikap malu yang dibuat-buat dan timbullah alasan-alasan yang –sekali lagi– dibuat-buat serta tidak mau singkat kata, terus terang dan menjelaskan apa adanya!
Padahal dulu, para bapak di zaman Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam menawarkan putrinya kepada kaum lelakinya. Bahkan, para wanita menawarkan dirinya kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam atau kepada orang yang mau menikahkan dirinya dengan seorang lelaki dari mereka. Semua ini dilakukan dengan penuh keterusterangan, sikap yang bersih, penuh tatakrama dan sikap yang baik, yang tidak merusak kemuliaan dan rasa malu. Pernah ‘Umar rodliyallohu ‘anhu menawarkan putrinya Hafshoh kepada Abu Bakar, namun beliau hanya terdiam. Lantas ia bawa kepada Utsman, namun ia mengundurkan diri. Kemudian ketika ia memberitahukan kepada Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini, beliau menyenangkan hatinya: semoga Alloh memberikan untuk anakmu orang yang lebih baik daripada mereka berdua; Abu Bakar dan Utsman. Kemudian beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam pun menikahinya. Pernah juga ada seorang wanita yang menawarkan dirinya kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak menerimanya, akhirnya wanita itu menyerahkan hak perwaliannya kepada beliau, terserah mau dinikahkan dengan siapa saja. Akhirnya beliau menikahkannya dengan seorang lelaki yang tidak memiliki apa-apa selain dua surat Al-Qur’an yang ia ajarkan kepadanya, inilah yang dijadikan mahar baginya.
Dengan sikap jelas dan terus terang seperti inilah masyarakat Islam dulu berjalan dalam membangun rumah dan eksistensinya. Dengan tidak gagap, komat-kamit atau mengucapkan kata-kata secara tidak jelas.
Demikian juga yang dilakukan oleh orang tua ini, ia bergaul dengan Musa kemudian memberikan tawaran ini dengan berjanji untuk tidak memberatkan dan membuat dirinya capek dalam bekerja, diiringi rasa harap terhadap kehendak Alloh supaya Musa mendapati dirinya termasuk orang-orang sholih dalam muamalah dan dalam dia menepati janji. Ini adalah adab yang bagus dalam berbicara tentang pribadi serta di hadapan Alloh, ia tidak menganggap dirinya suci serta tidak memastikan bahwa dirinya termasuk orang-orang sholeh, namun ia tetap berharap hal itu dengan menyerahkan urusan dalam hal ini kepada kehendak Alloh.
Musapun akhirnya menerima tawaran dan melangsungkan akad, dengan jelas dan rinci serta mempersaksikan di hadapan Alloh:
قَالَ ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيَّمَا الْأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ
Musa berkata: “Inilah (perjanjian) antara aku dan kamu.Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Alloh adalah saksi atas apa yang kita ucapkan”.
Sesungguhnya tempat-tempat yang di sana ada akad serta perjanjian kerjasama itu tidak boleh ada yang tersembunyi, tidak boleh gagap atau malu. Dari sanalah maka Musa menerima tawaran serta melangsungkan akad sesuai dengan syarat yang ditawarkan oleh orang tua ini, kemudian ia menegaskan dan menjelaskan :
أَيَّمَا الْأَجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلَا عُدْوَانَ عَلَيَّ
“di antara dua batas waktu itu yang engkau laksanakan, tak ada masalah bagiku…”
…sama saja apakah aku menjalaninya delapan tahun atau sepuluh tahun, maka tak ada yang melampaui batas dalam beban-beban pekerjaan, tidak ada keharusan harus sepuluh tahun. Menambah lebih dari delapan tahun adalah pilihan, terserah.
وَاللَّهُ عَلَى مَا نَقُولُ وَكِيلٌ
Dan Alloh adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.
Dialah Yang Mahamenyaksikan serta Yang disandari keadilan dari masing-masing fihak yang mengadakan akad, dan cukuplah Alloh sebagai penjamin. Musa ‘alaihis salam menjelaskan keterangan ini dengan tetap berjalan di atas keistiqomahan fithrohnya, jernihnya kepribadiannya, dan sebagai sikap pelaksanaan dia akan kewajiban masing-masing dari dua fihak yang mengadakan akad, ia meniatkan untuk melaksanakan dua batas baktu yang terbaik sebagaimana akhirnya ia lakukan. Diriwayatkan bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam memberitahu dengan bersabda,
قضى أكثرهما وأطيبهما
“Beliau menyelesaikan waktu yang paling lama dan paling baik.”
Demikianlah Musa ‘alaihis salam merasa tenang dengan posisi dia di rumah yang melindunginya dan ia telah merasa aman dari Fir’aun dan tipudayanya. Dengan hikmah yang telah Alloh takdirkan di dalam ilmu-Nya maka terjadilah apa yang kini telah terjadi, maka biarlah kita biarkan mata rantai ini berjalan sesuai jalannya sampai masa akhirnya, dan konteks kisah ini terdiam hingga di sini dan kini saya tutup tirai…”
Hingga beliau –maksudnya Sayyid Qutb– rohimahulloh mengatakan bahwa Alloh itu dengan kekuasaan-Nya telah memindahkan Musa ‘alaihis salam selangkah demi selangkah sejak ia masih menyusu dalam buaian hingga tiba pada rangkaian serial cerita ini yang melemparkan dirinya ke sungai agar bisa diambil oleh keluarga Fir’aun, yang menumbuhkan rasa cinta dalam hati isteri Fir’aun supaya Musa tumbuh di dalam asuhan musuhnya, yang menjadikan ia masuk ke kota ketika penduduknya sedang lengah agar ia membunuh salah seorang dari mereka, kemudian mengirim kepadanya seorang lelaki beriman yang menyembunyikan keimanannya dari keluarga Fir’aun untuk mengingatkan dan memberi nasehat kepadanya agar keluar dari kota itu, yang mendampinginya di jalan padang pasir sejak dari Mesir hingga Madyan, beliau sendirian dan dalam keadaan terusir, tanpa membawa bekal dan persiapan. Kemudian mengumpulkannya bersama seorang yang telah lanjut usia untuk selanjutnya ia mengangkatnya sebagai pekerja selama sepuluh tahun itu. Kemudian kembali setelah itu dalam rangka menerima beban ini.
Ini adalah garis panjang dari sebuah pemeliharaan dan pengarahan, dari sebuah proses penerimaan dan percobaan, sebelum adanya panggilan dan beban .. pengalaman dari sebuah pemeliharaan, kecintaan dan pengarahan. Pengalaman dalam melakukan reaksi di bawah tekanan kemarahan yang tertahan, pengalaman dari penyesalan, merasa berdosa kemudian beristighfar. Pengalaman rasa takut, terusir dan keresahan. Pengalaman keterasingan, kesendirian, kelaparan dan percobaan dari sebuah khidmat serta menggembalakan kambing setelah kehidupan istana. Pengalaman besar ini masih teriringi di sela-selanya berbagai macam cobaan kecil, perasaan-perasaan yang tak karuan, perasaan was-was dan bisikan-bisikan hati, ilmu dan pengetahuan, di samping ilmu dan hikmah yang Alloh berikan kepada beliau ketika beliau mencapai usia baligh.
Sesungguhnya risalah ini adalah beban besar yang berat serta banyak sekali sisi dan konsekuensi-konsekuensinya; pengembannya memerlukan bekal yang besar, berupa ujicoba-ujicoba, daya tangkap, pengetahuan serta kepekaan dalam kehidupan nyata di samping adanya anugerah yang murni dari sisi Alloh dan wahyu maupun pengarahan-Nya terhadap hati dan perasaan.
Sedangkan risalah Musa, dilihat kandungannya, mungkin adalah beban paling besar yang pernah diterima manusia — selain risalah Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam —, sebab beliau di utus kepada Fir’aun yang berjiwa thoghut lagi bengis, raja paling pongah di muka bumi di zamannya, paling unggul singgasananya, paling kuat kekuasaannya, paling mengakar kebudayaannya, serta orang yang paling minta disembah makhluk dan paling angkuh di muka bumi.
Beliau juga diutus untuk menyelamatkan satu kaum yang telah menenggak kehinaan dari gelas-gelas sampai mereka ‘keenakan’ dalam merasakan kehinaan itu, mereka terus menerus berada di atasnya serta pasrah selama waktu yang panjang. Padahal kehinaan itu merusak fitroh manusiawi sehingga ia berubah dan keras; kehinaan itu juga melenyapkan kebaikan, keindahan dan kepekaan dalam hati. Ia juga melenyapkan rasa benci terhadap kebusukan, kotoran dan najis. Sehingga menyelamatkan kaum seperti mereka adalah pekerjaan berat dan sulit.
Beliau juga dalam waktu pengutusan singkat untuk mengembalikan bangunan umat, bahkan untuk membuatnya kembali dari pondasinya. Pada kali pertama, memang Bani Israil adalah bangsa yang merdeka, ia memiliki gaya hidup tersendiri yang diatur oleh risalah, sementara membangun umat adalah sebuah pekerjaan besar, berat dan sulit.
Barangkali karena makna inilah Al-Qur’anul Karim begitu perhatian terhadap kisah beliau. Kisah beliau adalah contoh yang lengkap dari sebuah pembinaan umat di atas pondasi dakwah, berikut contoh dari tantangan yang menghadang perjuangan beliau ini berupa penghambat dari luar dan dalam. Belum lagi berbagai hal yang merusak, yang berupa berbagai penyimpangan, luapan, ujian dan aral.
Adapun ujian pada sepuluh tahun di mana beliau menjadi pekerja, hal itu untuk memisahkan antara kehidupan istana yang Nabi Musa ‘alaihis salam tumbuh berkembang di dalamnya, dengan kehidupan kerja keras dan berat nantinya di dalam dakwah serta beban-bebannya yang sulit.
Sesungguhnya kehidupan istana itu memiliki iklim tersendiri, tradisi-tradisi khusus dan pengayoman-pengayoman istimewa yang merasuk ke dalam jiwa sekaligus membentuknya dengan suasana itu, meskipun jiwa itu memiliki pengetahuan, pemahaman serta pencermatan. Padahal risalah ini diarahkan kepada seluruh manusia, di antara mereka ada yang kaya, ada yang miskin. Ada yang sukses ada juga yang gagal. Ada yang bersih, ada juga yang kotor. Ada yang sudah terdidik, ada juga yang berwatak kasar. Ada yang bagus, ada juga yang buruk, ada yang baik dan juga yang jahat. Ada yang kuat, ada juga yang lemah. Ada yang sabar, ada juga yang gampang mengeluh. Ada lagi…ada lagi…dst.
Orang-orang miskin memiliki kebiasaan tersendiri dalam urusan makan, minum, berpakaian, cara berjalan, cara memahami urusan, cara pandang terhadap kehidupan, cara berbicara dan bergerak serta cara mengungkapkan perasaan mereka. Kebiasaan-kebiasaan ini berat kalau harus ditanggung oleh jiwa orang-orang yang hidup nikmat dan perasaan orang-orang yang terdidik di dalam istana; mereka tidak akan mampu untuk sekedar melihat saja, apalagi menghadapi dan merubahnya, walaupun sebenarnya hati orang-orang miskin tersebut penuh dengan kebaikan dan siap untuk diperbaiki, sebab penampilan dan tabiat dari kebiasaan mereka tidak mudah mendapatkan tempat di hati orang-orang yang terbiasa hidup di dalam istana.
Terkadang, beban risalah itu bisa berupa rasa berat, keterasingan dan kesempitan … sementara hati penghuni istana — walaupun bisa saja ia siap berkorban lantaran ia terbiasa dengan kehidupan yang rendah, lemah dan senang — tidak akan kuat bersabar dalam waktu panjang untuk hidup sederhana, terasing dan memikul beban-beban berat ketika ia menghadapi realita kehidupan … maka takdir berkehendak (yang benar adalah: Alloh berkehendak dengan qudroh-Nya) yang memindahkan langkah kehidupan Musa ‘alaihis salam untuk menukik dari kebiasaan hidup yang telah ia jalani serta membawanya lari ke dalam masyarakat penggembala, dan untuk menjadikan beliau bisa merasakan kenikmatan ketika seorang penggembala kambing memperoleh makanan dan tempat tinggal setelah sebelumnya ia ketakutan, terusir, susah dan lapar.
Dan untuk mencabut dari hati beliau perasaan benci kepada kefakiran dan orang-orang fakir, menggerutu dengan kebiasaan, akhlak, kekasaran serta kesederhanaan mereka, mencabut sikap merasa lebih tinggi atas kebodohan mereka, kefakiran mereka, usangnya penampilan mereka serta semua kebiasaan dan karakter yang ada pada diri mereka. Dan agar beliau terdampar dalam samudra kehidupan ketika sudah dewasa setelah sebelumnya ia berada dalam gelombang lautan di masa kecil supaya beliau terbiasa menanggung beban dakwah yang beliau emban sebelum menerimanya…
Ketika jiwa Musa ‘alaihis salam telah menyelesaikan uji cobanya dan merampungkan latihannya dengan latihan uji coba terakhir ini di negeri keterasingan, maka tangan kodrat mengarahkan (yang benar: Alloh mengarahkannya dengan kekuasaan, pemilihan dan penyaringan dari-Nya) langkah beliau untuk kedua kalinya kembali ke tempat asalnya, tempat tinggal keluarga dan kaumnya, medan ia menyampaikan risalah dan perjuangannya. Pengarahan ini mengarahkan beliau untuk menempuh jalan yang dulu ia tempuh sendirian dan dalam keadaan buron serta dalam keadaan takut dan was-was. Lantas, apa sebenarnya kedatangan dan kepergian melewati jalan yang sama ini? Sesungguhnya itu adalah latihan dan pembiasaan serta pengalaman sampai dalam masalah cabang-cabang jalan.
Jalan yang mana Musa akan memimpin kaumnya kelak dengan perintah Robbnya. Supaya kriteria sebagai penunjuk jalanpun sempurna berikut pengalamannya. Sehingga ia tidak perlu bergantung kepada orang lain, walaupun hanya dalam urusan menunjukkan jalan. Kaumnya membutuhkan seorang penunjuk jalan yang akan membimbing mereka dalam hal yang kecil dan besar setelah kehinaan, kekerasan dan penghinaan merusak mereka, sampai-sampai mereka kehilangan kemampuan untuk mengendalikan dan berfikir. Demikianlah kita memahami bagaimana Musa terbentuk dalam pengawasan mata Alloh, dan bagaimana Alloh menyiapkan beliau dengan kekuasaan-Nya untuk menerima beban tugas.”

Ambillah Oleh Kalian Berdua Beberapa Rumah Di Mesir Untuk Tempat Tinggal Bagi Kaummu Dan Jadikanlah Rumah-Rumah Kalian Itu Tempat Sholat …
Alloh ta`ala berfirman:
فَمَا آمَنَ لِمُوسَى إِلاَّ ذُرِّيَّةٌ مِّن قَوْمِهِ عَلَى خَوْفٍ مِّن فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِمْ أَن يَفْتِنَهُمْ وَإِنَّ فِرْعَوْنَ لَعَالٍ فِي الأَرْضِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الْمُسْرِفِينَ * وَقَالَ مُوسَى يَا قَوْمِ إِن كُنتُمْ آمَنتُم بِاللّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّسْلِمِينَ * فَقَالُواْ عَلَى اللّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا لاَ تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ * وَنَجِّنَا بِرَحْمَتِكَ مِنَ الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ * وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَن تَبَوَّءَا لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتاً وَاجْعَلُواْ بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan dzurriyyah dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut bahwa Fir’aun dan mala’ mereka akan menyiksa mereka. Sesungguhnya Fir’aun itu berbuat sewenang-wenang di muka bumi. Dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang melampaui batas. Berkata Musa: “Hai kaumku, jika kamu beriman kepada Alloh, maka bertawakallah kepada-Nya saja, jika kamu benar-benar orang yang berserah diri”. Lalu mereka berkata: “Kepada Alloh-lah kami bertawakal! Wahai Robb kami, janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang dholim, dan selamatkanlah kami dengan rahmat Engkau dari (tipu daya) orang-orang yang kafir”. Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: “Ambillah olehmu berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah olehmu rumah-rumahmu itu tempat sholat dan dirikanlah olehmu sholat serta gembirakanlah orang-orang yang beriman”. (Yunus: 83-87)
Ibnu Katsir rohimahulloh berkata, “Alloh ta`ala mengkhabarkan bahwasanya tidak ada yang mau beriman kepada Musa ‘alaihis salam beserta ayat-ayat yang jelas, hujjah-hujjah yang pasti dan bukti-bukti gamblang yang beliau bawa selain beberapa orang dari kaum Fir’aun. Itupun dari kalangan para dzurriyyah, yaitu para pemuda. Mereka masih teriringi rasa takut terhadap dia dan balatentaranya kalau-kalau akan mengembalikan mereka kepada kekufurannya. Sebab Fir’aun — semoga Alloh melaknatnya — adalah orang yang bengis, keras kepala dan sudah kelewatan dalam pembangkangan dan kesombongan. Ia juga memiliki pengaruh dan kewibawaan yang menjadikan rakyatnya sangat takut kepadanya. Al-`Aufi berkata dari Ibnu `Abbas:
فَمَا آمَنَ لِمُوسَى إِلاَّ ذُرِّيَّةٌ مِّن قَوْمِهِ عَلَى خَوْفٍ مِّن فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِمْ أَن يَفْتِنَهُمْ
Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan dzurriyyah dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut bahwa Fir’aun dan mala’ mereka akan menyiksa mereka.
Beliau berkata: “Sesungguhnya para pemuda yang beriman kepada Musa adalah bukan orang-orang dari Bani Isroil, tapi sekelompok kecil dari kaum Fir’aun. Di antara mereka adalah isteri Fir’aun, lelaki dari keluarga Fir’aun, seorang lelaki yang menjadi pengawal Fir’aun dan isteri pengawal tersebut.” Ali bin Abi Tholhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai firman Alloh ta’ala:
فَمَا آمَنَ لِمُوسَى إِلاَّ ذُرِّيَّةٌ مِّن قَوْمِهِ
Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan dzurriyyah dari kaumnya
Beliau mengatakan: Mereka adalah Bani Isroil.
Masih riwayat dari Ibnu Abbas, Adh-Dhohak dan Qotadah: “Adz-Dzurriyyah artinya adalah sekelompok kecil orang.” Mujahid berkata mengenai firman Alloh:
إِلاَّ ذُرِّيَّةٌ مِّن قَوْمِهِ
…melainkan dzurriyyah dari kaumnya
Ia berkata, “Mereka adalah anak-anak dari kaum yang Musa diutus kepadanya sejak waktu yang lama kemudian ayah mereka meninggal dunia.” Ibnu Jarir memilih pendapat Mujahid bahwa dzurriyyah itu dari kalangan Bani Israil, bukan dari kaum Fir’aun, mengingat bahwa dlomir (kata ganti) di sini kembali kepada yang paling dekat disebutkan. Hanya, pendapat beliau ini perlu ditinjau ulang, sebab yang beliau maksud dari dzurriyyah adalah para pemuda yang masih belia, kemudian mereka adalah dari kalangan Bani Israil.
Sementara yang masyhur, Bani Isroil itu semuanya beriman kepada Musa ‘alaihis salam dan mereka mendapatkan kabar gembira akan kedatangan beliau. Dulunya, mereka sudah mengetahui ciri dan sifat beliau, dan kabar gembira mengenai beliau ini bersumber dari kitab-kitab mereka terdahulu, dan bahwasanya Alloh akan selamatkan mereka dari kungkungan keterbudakan kepada Fir’aun sekaligus memenangkan mereka atas dia dengan perantara beliau. Oleh karena itu, ketika hal itu didengar oleh Fir’aun, ia sangat sangat waspada, namun ia tidak temukan apapun dalam diri Musa. Sedangkan tatkala Musa datang, Fir’aun sangat luar biasa dalam memberikan siksaan kepada Bani Isroil, dan:
قَالُواْ أُوذِينَا مِن قَبْلِ أَن تَأْتِينَا وَمِن بَعْدِ مَا جِئْتَنَا قَالَ عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الأَرْضِ فَيَنظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ
Kaum Musa berkata: “Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang kepada kami dan juga sesudah kamu datang.” Musa menjawab:”Mudah-mudahan Alloh membinasakan musuh kalian dan menjadikan kalian khofilah di muka bumi, lalu Alloh akan melihat bagaimana perbuatan kalian.” (Al A’rof: 129)
Kalau hal ini dipahami, lantas bagaimana mungkin bahwa yang dimaksud dengan dzurriyyah itu adalah para pemuda dari kaumnya Musa, yaitu Bani Isroil yang:
عَلَى خَوْفٍ مِّن فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِمْ
“…mereka ini berada dalam keadaan takut kepada Fir’aun dan mala’ mereka..”
..yakni, dari para punggawa kaumnya, takut kalau-kalau menyiksa mereka? Padahal di kalangan Bani Isroil itu tidak ada orang yang disiksan oleh Fir’aun lantaran beriman selain Qorun. Dia ini adalah dari kaum Musa lalu bertindak melampaui batas kepada mereka. Akan tetapi dia ini berlindung kepada Fir’aun, mengadakan hubungan dan memiliki keterikatan dengan jaringan Fir’aun.
Adapun yang berpendapat bahwa dlomir dalam firman Alloh yang berbunyi: وملئهم “…dan mala’ mereka..” itu kembali kepada Fir’aun, dan juga para pembesar kerajaan karena mereka mengikuti Fir’aun, atau ada kata alu (keluarga) Fir’aun dan menempatkan posisi mudhof ilaih menggantikan posisinya, maka pendapatnya ini terlalu jauh, meskipun Ibnu Jarir telah meriwayatkan dua pendapat tersebut dari sejumlah ahli ilmu Nawu (tata bahasa Arab). Dan di antara yang menunjukkan bahwa di kalangan Bani Israel tidak ada orang yang tidak beriman adalah firman Alloh ta’ala yang berbunyi:
وَقَالَ مُوسَى يَا قَوْمِ إِن كُنتُمْ آمَنتُم بِاللّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّسْلِمِينَ * فَقَالُواْ عَلَى اللّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا لاَ تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ * وَنَجِّنَا بِرَحْمَتِكَ مِنَ الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Musa berkata: “Hai kaumku, jika kalian beriman kepada Alloh, maka bertawakallah kepada-Nya, jika kalian benar-benar orang yang berserah diri”. Lalu mereka berkata: “Kepada Alloh-lah kami bertawakal! Wahai Robb kami, janganlah Engkau jadikan kami sebagai fitnah bagi kaum yang dholim, dan selamatkanlah kami dengan rahmat Engkau dari (tipu daya) orang-orang yang kafir”.
Alloh ta’ala berfirman dalam mengisahkan Musa ‘alaihis salam, bahwasanya ia mengatakan kepada Bani Israel:
يَا قَوْمِ إِن كُنتُمْ آمَنتُم بِاللّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّسْلِمِينَ
Hai kaumku, jika kalian beriman kepada Alloh, maka bertawakallah kepada-Nya, jika kalian benar-benar orang yang berserah diri.
Maksudnya adalah, sesungguhnya Alloh akan mencukupi orang yang bertawakkal kepada-Nya.
أَلَيْسَ اللَّهُ بِكَافٍ عَبْدَهُ
Bukankah Alloh yang mencukupi hamba-Nya.
وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
Dan barangsiapa bertawakal kepada Alloh, niscaya Alloh mencukupinya.
Dan seringkali Alloh menyebutkan ibadah dan tawakal secara beriringan, seprti dalam firman-Nya yang berbunyi:
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
Maka beribadahlah kepada Alloh dan bertawakallah kepada-Nya.
قُلْ هُوَ الرَّحْمَنُ آمَنَّا بِهِ وَعَلَيْهِ تَوَكَّلْنَا
Katakanlah: Dialah (Alloh) yang Maha Pengasih, kami beriman kepada-Nya dan bertawakal kepada-Nya.
رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا
Robb (penguasa) timur dan barat, tidak ada ilah (sesembahan yang hakiki) melainkan Dia, maka jadikanlah Dia yang mencukupimu.
Dan Alloh ta’ala memerintahkan orang-orang beriman agar mengucapkan beberapa kali dalam sholat mereka:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya kepada-Mulah kami beribadah dan hanya kepada-Mulah kami memohon pertolongan.
Sedangkan Bani Israel telah melaksanakan perintah tersebut.
فَقَالُواْ عَلَى اللّهِ تَوَكَّلْنَا رَبَّنَا لاَ تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Lalu mereka berkata: “Kepada Alloh-lah kami bertawakal! Wahai Robb kami, janganlah Engkau jadikan kami sebagai fitnah bagi kaum yang dholim,
Maksudnya, janganlah Engkau jadikan mereka berhasil menangkap kami dan jangan Engkau kuasakan mereka atas kami, sehingga mereka akan menyangka bahwasanya mereka dapat berkuasa itu lantaran mereka adalah pihak yang benar sementara kami adalah pihak yang salah, sehingga mereka terfitnah (tertipu). Demikianlah yang diriwayatkan dari Abu Mijlaz dan Abudl Dluha. Sedangkan Ibnu Abi Nujaih dan yang lain meriwayatkan bahwasanya Mujahid berkata: Janganlah Engkau siksa kami dengan tangan keluarga Fir’aun ataupun dengan siksaan yang datang dari sisi-Mu, sehingga kaum Fir’aun akan mengatakan: Seandainya mereka berada di atas kebenaran, tentu mereka tidak akan disiksa dan kami tidak akan dapat berkuasa atas mereka, sehingga kami dapat memfitnah (menyiksa) mereka. Sedangkan ‘Abdur Rozzaq berkata: Ibnu ‘Uyainah telah memberitakan kepada kami, ia dari Abu Nujaih, ia dari Mujahid, (bahwasanya yang dimaksud dengan firman Alloh yang berbunyi):
رَبَّنَا لاَ تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Wahai Robb kami janganlah Engkau jadikan kami sebagai fitnah bagi orang-orang yang dholim.
Yakni, janganlah Engkau jadikan mereka berkuasa atas kami sehingga mereka akan memfitnah (menyiksa) kami, adapun firman Alloh ta’ala yang berbunyi:
وَنَجِّنَا بِرَحْمَتِكَ
.. dan selamatkanlah kami dengan rahmat-Mu…
Yakni, loloskanlah kami dengan rahmat dan kebaikan dari-Mu.
مِنَ الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
.. dari orang-orang kafir..
Yakni, orang-orang yang mengingkari dan menutup-nutupi kebenaran, sedangkan kami telah beriman dan bertawakal kepada-Mu.
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَن تَبَوَّءَا لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتاً وَاجْعَلُواْ بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya:”Ambillah oleh kalian berdua beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah rumah-rumah kalian sebagai tempat sholat dan dirikanlah sholat serta berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman.
Di sini Alloh menerangkan apa yang menjadi penyebab Alloh menjauhkan Bani Israel dari Fir’aun dan kaumnya, dan bagaimana bereka bisa lolos dari mereka. Yaitu, Alloh ta’ala memerintahkan Musa dan saudaranya, Harun ‘alaihimas salam,agar membuat beberapa rumah buat kaum mereka berdua di Mesir. Para ahli tafsir berselisih pendapat mengenai maksud dari ayat yang berbunyi:
وَاجْعَلُواْ بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً
.. dan jadikanlah rumah-rumah kalian sebagai kiblat,
Ats Tsauri dan yang lainnya meriwayatkan dari Khushoib bin ‘Ikrimah, ia dari Ibnu ‘Abbas, bahwa yang dimaksud dengan firman Alloh ta’ala yang berbunyi:
وَاجْعَلُواْ بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً
.. dan jadikanlah rumah-rumah kalian sebagai kiblat,
Yakni, mereka diperintahkan untuk menjadikannya sebagai masjid. Ats Tsauri juga meriwayatkan dari Ibnu Manshur, ia dari Ibrohim, bahwa yang dimaksud dengan firman Alloh yang berbunyi:
وَاجْعَلُواْ بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً
.. dan jadikanlah rumah-rumah kalian sebagai kiblat,
Yakni, dahulu mereka dalam keadaan takut lalu mereka diperintahkan untuk melaksanakan sholat di rumah-rumah mereka. Yang demikian juga dikatakan oleh Mujahid, Abu Malik, Ar Robi’ bin Anas, Adl Dlohak, ‘Abdur Rohman bin Zaid bin Aslam dan bapaknya, yaitu Zaid bin Aslam. Sepertinya, yang dimaksud adalah, tatkala siksaan yang mereka dapatkan dari Fir’aun dan kaumnya semakin keras, dan Fir’aun beserta kaumnya menekan mereka, Alloh memerintahkan mereka untuk banyak melaksanakan sholat, wallohu a’lam. Ini seperti firman Alloh ta’ala yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ
Wahai orang-orang beriman, Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolong kalian.
Dan dalam sebuah hadits disebutkan bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam apabila tertimpa kesusahan beliau melakukan sholat. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud. Oleh karena itu Alloh ta’ala berfirman dalam ayat tersebut:
وَاجْعَلُواْ بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
.. dan jadikanlah rumah-rumah kalian sebagai kiblat, dan dirikanlah sholah. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman.
Yakni, berikanlah kabar gembira berupa pahala dan pertolongan yang dekat. Sedangkan Al ‘Aufi meriwayatkan bahwasanya Ibnu ‘Abbas menafsirkan ayat ini, beliau berkata: Bani Israel mengatakan kepada Musa ‘alaihis salam, kami tidak dapat menampakkan sholat kami di hadapat bangsanya Fir’aun. Maka Alloh pun mengijinkan mereka untuk sholat di rumah mereka, dan mereka diperintahkan untuk menjadikan rumah mereka menghadap ke arah kiblat. Sedanglan Mujahid berkata, mengenai firman Alloh ta’ala yang berbunyi:
وَاجْعَلُواْ بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً
.. dan jadikanlah rumah-rumah kalian sebagai qiblat..
Yakni, tatkala Bani Israel takut dibunuh oleh Fir’aun di gereja-jereja pusat, mereka diperintahkan untuk menjadikan rumah-rumah mereka sebagai masjid yang menghadap ka’bah untuk mereka jadikan tempat sholat, yang mereka kerjakan secara sembunyi-sembunyi. Demikian pula yang dikatakan oleh Qotadah dan Adl Dlohak. Sedangkan Sa’id bin Jubair mengatakan, mengenai firman Alloh ta’ala yang berbunyi:
وَاجْعَلُواْ بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً
.. dan jadikanlah rumah-rumah kalian sebagai qiblat..
Yakni, saling berhadapan satu dengan yang lainnya.”
Sayyid Quthub rohimahulloh berkata di dalam Fi Dhilalil Qur’an: “Di sini tersingkaplah rahasianya, yaitu tujuannya adalah untu mengangkat derajat Musa dan orang-orang yang beriman bersamanya, yang berasal dari kalangan para pemuda, bukan dari kalangan orang-orang tua!. Inilah salah satu pelajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut.
Nash ini juga menjelaskan bahwasanya orang-orang yang menampakkan iman mereka dan bergabung dengan Musa dari kalangan Bani Israel adalah para pemuda yang masih belia, bukan seluruh bangsa Israel. Bahwasanya para pemuda itulah yang dikhawatirkan akan mendapatkan siksaan dan dipaksa keluar kembali dari ajaran Musa lantaran takut kepada Fir’aun dan pengaruh para pemuka kaum mereka yang memiliki banyak kepentingan dengan kawan, dan orang-orang hina yang berlindung dengan pemegang kekuasaan, khususnya dari kalangan Bani Israel. Padahal Fir’aun ketika itu memiliki kekuasaan yang besar dan diktator, selain ia juga melampau batas dalam berbuat dholim, tidak mengenal batas dan tidak segan-segan untuk bertindak keras.
Pada saat seperti ini diperlukan adanya iman yang dapat mengalahkan rasa takut, yang dapat menenangkan dan meneguhkan hatinya di atas kebenaran yang dilaluinya.
وَقَالَ مُوسَى يَا قَوْمِ إِن كُنتُمْ آمَنتُم بِاللّهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّسْلِمِينَ
Musa berkata: Wahai kaumku, jika kalian beriman kepada Alloh maka bertawakallah kalian kepada-Nya, jika kalian memang berserahdiri kepada-Nya.
Dengan demikian, tawakal kepada Alloh adalah pertanda dan konsekuensi dari iman, dan unsur kekuatan yang memperkuat jumlah yang sedikit dan kekuatan yang lemah, dalam menghadapi kediktatoran thoghut, sehingga tanpa diduga ia menjadi sangat kuat dan sangat teguh. Dan Musa dalam ayat tersebut mengingatkan iman dan Islam (berserah diri kepada Alloh) kepada mereka, dan menjadikan tawakal kepada Alloh sebagai konsekuensi iman dan Islam … konsekuensi dari keyakinan terhadap Alloh, keyakinan terhadap Islam (berserah diri) nya jiwa kepada Alloh secara murni, dan mengamalkan apa yang Ia kehendaki …
Dan sambutan orang-orang beriman terhadap seruan iman melalui lisan Nabi mereka:
فَقَالُواْ عَلَى اللّهِ تَوَكَّلْنَا
Maka mereka mengatakan: “Hanya kepada Alloh kami bertawakal.”
Dan dari situ mereka kemudian memanjatkan do’a kepada Alloh:
رَبَّنَا لاَ تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Wahai Robb (tuhan) kami janganlah Engkau jadikan kami sebagai fitnah bagi orang-orang yang dholim.
Yang dimaksud dengan do’a supaya Alloh tidak menjadikan mereka sebagai fitnah bagi orang-orang dholim adalah, do’a supaya Alloh tidak menjadikan orang-orang dholim itu berkuasa atas mereka, sehingga mereka akan menyaka bahwa berkuasanya mereka atas orang-orang beriman kepada Alloh itu merupakan pertanda bahwa keyakinan mereka itu lebih benar, sehingga mereka menang sedangkan orang-orang yang beriman kalah! Dengan demikian, ini semua merupakan istidroj (pemberian kebaikan secara berangsur-angsur sebagai tipuan) dari Alloh untuk mereka dan sebagai tipudaya supaya mereka semakin terjerumus ke dalam kesesatan mereka. Maka dari itu, orang-orang beriman berdo’a kepada Alloh agar menjaga mereka jangan sampai dikuasai oleh orang-orang dholim, meskipun sebagai istidroj (tipuan). Dan ayat yang kedua lebih jelas dalam menyebutkan permohonan yang diinginkan:
وَنَجِّنَا بِرَحْمَتِكَ مِنَ الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
… dan selamatkanlah kami dengan rahmat-Mu dari orang-orang kafir…
Do’a mereka kepada Alloh, supaya Alloh tidak menjadikan mereka sebagai fitnah untuk orang-orang dholim, dan supaya menyelamatkan mereka dari orang-orang kafir, ini semua tidak bertentangan dengan tawakal dan taqwa mereka kepada Alloh. Namun justru hal itu merupakan pertanda yang sangat jelas bahwa mereka bertawakal dan bersandar hanya kepada Alloh semata. Karena orang beriman itu tidak akan berharap mendapatkan ujian, akan tetapi ia tetap teguh jika menghadapi bencana.
Setelah terjadi pemisahan ini, dan pada masa penantian setelah episode pertama, serta berimannya orang-orang yang mau beriman kepada Musa, Alloh mewahyukan kepadanya dan kepada Harun supaya mereka berdua membuat rumah yang khusus untuk Bani Israel. Hal itu dilakukan untuk memisahkan dan mengorganisir mereka sebagai persiapan untuk meninggalkan Mesir pada waktu yang ditentukan. Mereka diperintahkan untuk membersihkan rumah mereka, mensucikan jiwa mereka dan memberikan kabar gembira dengan pertolongan Alloh:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَن تَبَوَّءَا لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُواْ بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
Dan kami telah wahyukan kepada Musa dan kepada saudaranya: Hendaknya kalian berdua membuat rumah untk kaum kalian berdua di Mesir, dan jadikanlah rumah kalian sebagai qiblat, dan tegakkanlah sholat. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang beriman…
Itu semua adalah persiapan mental yang beriringan dengan persiapan sistem. Keduanya adalah sangat diperlukan oleh setiap indifidu dan kelompok, terutama sebelum menghadapi pertempuran dan ujian-ujian yang berat. Terkadang segolongan manusia menganggap enteng persiapan mental ini. Akan tetapi, pengalaman-pengalaman sampai saat ini membuktikan bahwasanya aqidah itu menjadi senjata utama dalam pertempuran, dan bahwasanya peralatan perang yang berada di tangan seorang prajurit yang lemah aqidahnya itu tidak banyak berguna pada saat-saat kritis.
Eksperimen ini, Alloh jelaskan terhadap sekelompok orang beriman supaya dijadikan pelajaran. Akan tetapi tidak khusus untuk Bani Israel saja, karena ini semua adalah murni eksperimen iman. Sementara itu, terkadang pada masa-masa tertentu orang-orang beriman itu mendapatkan dirinya terkucil dalam sebuah masyarakat jahiliyah, sedangkan ujian merajalela, thoghut berlaku kejam, manusia rusak dan lingkunganpun membusuk. Demikianlah yang terjadi pada masa Fir’aun ketika itu. Pada saat itulah Alloh memberikan petunjuk kepada mereka beberapa poin berikut:
- Menjauhkan diri dari kejahiliyahan dengan segala kebusukan, kerusakan dan kejahatannya — sedapat mungkin — dan mengisolir kelompok orang-orang beriman yang baik dan bersih dalam kelompoknya sendiri, dalam rangka untuk membersihkan dan mensucikan diri, melatih dan menata barisan, sampai janji Alloh datang kepadanya.
- Menjauhkan diri dari tempat-tempat peribadahan jahiliyah, dan menjadikan rumah-rumah kelompok orang-orang Islam itu sebagai masjid. Sehingga di sana mereka merasakan terisolir dari masyarakat jahiliyah, di sana mereka beribadah kepada Robb mereka secara tekun di atas manhaj yang benar, dan menekuni ibadah itu sendiri merupakan salah satu bentuk pengorganisasian dalam suasana ibadah yang suci.
Musa ‘alaihis salam pun menghadapkan diri kepada Robbnya. Ia telah putus asa untuk mendapatkan kebaikan pada Fir’aun dan para pengikutnya, atau sesuatu yang tersisa pada diri mereka, atau harapan untuk baik. Beliau menghadapkan diri kepada Robbnya berdo’a kepada-Nya agar membinasakan Fir’aun dan para pengikutnya, yang memiliki harta dan perhiasan dunia yang dapat melemahkan hati banyak orang, sehingga hati mereka tunduk di hadapan harta dan perhiasan dunia tersebut, dan berakhir dengan kesesatan .. Musa menghadapkan diri kepada Robbnya, ia berdo’a agar Robbnya agar menghancurkan harta benda mereka, dan agar mengunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat beriman kecuali pada saat iman itu sudah tidak berguna lagi bagi mereka. Maka Alloh pun mengabulkan do’a beliau.
وَقَالَ مُوسَى رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلأهُ زِينَةً وَأَمْوَالاً فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّواْ عَن سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلاَ يُؤْمِنُواْ حَتَّى يَرَوُاْ الْعَذَابَ الأَلِيمَ * قَالَ قَدْ أُجِيبَت دَّعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا وَلاَ تَتَّبِعَآنِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ
Musa berkata: “Wahai Robb kami, sesungguhnya Engkau telah memberi perhiasan dan harta kekayaan kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya dalam kehidupan dunia, Wahai Robb kami akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Wahai Robb kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, sehingga mereka tidak beriman sampai mereka melihat siksaan yang pedih”. Alloh berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu berdua mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui”.
رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلأهُ زِينَةً وَأَمْوَالاً فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
Wahai Robb kami, sesungguhnya Engkau telah memberi perhiasan dan harta kekayaan kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya dalam kehidupan dunia.
… yang menyebabkan manusia tersesat dari jalan-Mu, baik dengan mengecoh yaitu orang lain melihat seolah-olah mereka mendapatkan kenikmatan, atau dengan kekuatan yang dimiliki para pemilik harta tersebut, sehingga mereka mampu menghinakan atau menyesatkan orang lain. Dan adanya kenikmatan di tangan orang-orang perusak, tidak diragukan lagi akan menggoncangkan banyak hati yang keyakinannya kepada Alloh tidak sampai memahamkan dirinya bahwa kenikmatan tersebut hanyalah ujian, dan tidak memiliki nilai sama sekali dibandingkan dengan karunia Alloh di dunia dan di akherat. Sedangkan di sini, Musa berbicara sesuai dengan kondisi yang dihadapinya pada kebanyakan manusia.
Dan dalam rangka untuk menghentikan aktifitas penyesatan ini, dan melucuti sarana-sarana kedholiman dan penyesatan dari kekuatan yang dholim dan menyesatkan, beliau memohon kepada Alloh agar menghancurkan dan memusnahkan harta tersebut, sehingga para pemiliknya tidak dapat menggunakannya lagi. Adapun do’a beliau agar Alloh mengunci mati hati mereka sehingga mereka tidak akan beriman sampai mereka melihat siksaan yang pedih, adalah do’a orang yang telah putus asa bahwa hati-hati yang dido’akan tersebut akan baik, atau akan bertaubat dan kembali, sebuah do’a agar Alloh semakin mengeraskan dan mengunci mati hati tersebut sampai mereka mendapatkan siksa, sedangkan ketika itu iman mereka tidak diterima, karena iman yang muncul setelah mendapat siksaan itu tidak diterima, dan juga hal ini menunjukkan bahwa taubat tersebut bukan taubat yang sebenarnya yang murni keinginan manusia.
قَالَ قَدْ أُجِيبَت دَّعْوَتُكُمَا
Alloh berfirman: Do’a kalian berdua telah dikabulkan….
Do’a tersebut telah ditetapkan untuk diterima dan perkaranya telah diputuskan.
فَاسْتَقِيمَا
.. maka tetap istiqomahlah kalian berdua ..
.. di atas jalan kalian dan di atas petunjuk, sampai ajal menjemput kalian:
وَلاَ تَتَّبِعَآنِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ
… dan janganlah kalian mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui..
.. sehingga mereka berjalan dalam kegelapan tanpa dasar ilmu, ragu-ragu dalam membuat perencanaan dan program, goyang dalam berjalan, dan mereka tidak mengetahui apakah mereka berjalan di atas jalan yang benar atau mereka telah tersesat jalan.”

No comments:

Post a Comment