Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallâhu ‘anhu melukiskan peran yang dimainkan Abu ‘Ubaidah dalam perang Uhud itu, “pada waktu itu, Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam terkena dua kali bidikan anak panah pada tulang pipinya, lalu aku segera pergi menghampirinya. Ternyata dari sebelah timur ada orang lain yang mendahuluiku, menghampirinya dengan cepat pula. Aku berkata, “Ya Alloh, jadikanlah hal itu sebagai kepatuhan kepada Mu”. Sesudah itu, sampailah aku di dekat Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam. Aku melihat Abu ‘Ubaidah sudah sampai terlebih dahulu, lalu ia berkata, “Ya Abu Bakar, aku mohon kau membiarkan aku melepaskan panah itu dari wajah Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam!”. Aku membiarkan Abu ‘Ubaidah melepaskan mata anak panah itu dengan gigi depannya dan ia berhasil mencabutnya, tetapi ia terjatuh ke tanah dan giginya pun patah. Selanjutnya, ia mencabut mata anak panah yang kedua hingga gigi depannya yang satunya patah juga. Sejak itu, Abu ‘Ubaidah ompong gigi depannya.
Dalam perang Dzatus Salaasil, Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam menugaskannya memimpin pasukan para shahabatnya (diantaranya Abu Bakar dan Umar) sebagai bala bantuan untuk Amru bin Ash. Setibanya pasukan itu, Amru berkata kepadanya, “Ya Aba ‘Ubaidah, kau didatangkan sebagai bala bantuan untuk pasukanku”. Abu ‘Ubaidah menjawab, “Tidak.. Aku dengan pasukanku dan kamu dengan pasukanmu, masing-masing memimpin pasukannya”. Amru bin Ash menolak adanya banyak pemimpin, ia tetap menganggap pasukan Abu ‘Ubaidah yang baru datang itu harus ada di bawah pimpinannya sebagai bala bantuan. Abu ‘Ubaidah berkata, “Ya Amru, Rasulullloh ShallAllohu ‘alaihi wasallam melarangku, kalian berdua jangan berselisih!. Apabila engkau membangkang kepadaku, biarlah aku yang patuh kepadamu!”. Alangkah indahnya kata-kata dan sikapnya itu?”.
Demikianlah, Islam berhasil menciptakan manusia model, insan kamil yang diasuh Tuhannya, ruh dan kalbunya dimumikan dari sifat-sifat kebumian dan keremehan manusiawi. Alangkah jujurnya kata-kata itu dalam nilai kejantanan seseorang, “kalau kau membangkang kepadaku, biarlah aku yang patuh kepadamu”, pada saat kepentingan jamaah kaum muslimin dan agama Islam menuntut persatuan dan kekompakan.
Pada suatu waktu, datanglah perutusan dari Najran kepada Nabi Shallallohu ‘alaihi wasallam meminta supaya bersama mereka dikirimkan seorang agama, mengajarkan hukum-hukum syariat kepada mereka, dan merangkap sebagai penengah (hakim) apabila terjadi perselisihan antara mereka. Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam berjanji kepada mereka: “nanti malam, kalian datang kembali, aku akan mengirimkan bersama kalian seorang yang terpercaya”. Umar ibnul Kaththab bercerita tentang hal itu: “aku belum pernah ingin mendapatkan pangkat lebih dari itu pada waktu itu, mudah-mudahan akulah orang yang dimaksudkan Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam itu, Aku pergi menantikan waktu zhuhur. Sesudah Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam selesai sholat zhuhur, beliau menoleh ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicari. Aku menjulurkan kepalaku supaya beliau melihatku, tetapi beliau masih saja mencari hingga beliau melihat Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah, lalu beliau berseru: “kau pergi bersama mereka dan putuskan sengketa yang terjadi antara mereka dengan sebenar-benarnya”. Demikian keterangan yang jujur dari Umar ibnul Khaththab. Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Tiap-tiap umat memiliki orang kepercayaan dan kepercayaan umat ini adalah Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah”.
Tepat sekali sebda Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam itu, ibnul Jarrah adalah seorang kepercayaan dalam akhlaknya, tidak seorang muslimpun merasa dirugikan olehnya. Ia kepercayaan dalam agamanya, ia berusaha keras menggalakkan dakwah secara merata. Ia kepercayaan dalam memelihara batas-batas negara sehingga semua pihak menghargai kewibawaan dan kekuasaannya.
Bagaimana tidak demikian, dia adalah salah seorang dari sepuluh orang pertama yang masuk Islam dan salah seorang dari sepuluh orang yang dinyatakan akan mendapatkan surga. Sesudah Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam wafat, banyak orang yang datang hendak membaiat Abu ‘Ubaidah menjadi khalifah, tetapi ia menjawab: “apakah kalian datang kepadaku sedangkan di tengah-tengah umat ini masih ada orang yang ketiga”. Yang ia maksudkan adalah Abu Bakar ash-Shiddiq, sesuai dengan apa yang disabdakan Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam kepada Abu Bakar di Gua Hira’, yang artinya: “Di waktu dia berkata kepada temannya, ‘janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Alloh beserta kita”. (QS: At-Taubah: 40).
Pada waktu itu, Umar ibnul Khaththab radhiallâhu ‘anhu termasuk salah seorang yang datang kepadanya, seraya berkata, “ulurkan tanganmu, aku akan membaiat kau, hai kepercayaaan umat, seperti yang dikatakan Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam“.
Abu ‘Ubaidah, menjawab, “belum pernah aku melihat kau tergelincir seperti sekarang sejak engkau Islam. Apakah kau akan membaiatku, sedangkan ash-Shiddiq, shahabat kedua Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam di Gua Hira’, ada di tengah-tengah kita?”. Rupanya teguran Abu ‘Ubaidah itu menyadarkan Umar. Ia lalu mengirimkan orang untuk memanggil Abu Bakar di rumah Aisyah, Ummul Mukminin, lalu ketiganya pergi ke Saqifah Bani Saa’idah. Setibanya disana, mereka mendapatkan kaum Anshar sedang melakukan rapat. Abu Bakar bertanya keheranan, “ada apa ini?”. Mereka menjawab, “dari kami diangkat amir dan dari kalian juga diangkat amir”. Abu Bakar ash-Shiddiq berkata: “para amir dari kami dan para wazir (menteri) dari kalian”. Sambutnya lagi, “aku setuju kalau kalian mengangkat salah seorang diantara dua orang ini; Umar ibnul Khaththab dan Abu ‘Ubaidah, kepercayaan umat ini”. Kedua orang itu menyatakan, “Tidak mungkin ada seorangpun yang mengungguli kedudukanmu, ya Aba Bakar!”. Keduanya lalu membaiatnya.
Itulah para pengikut dan shahabat Muhammad Shallallohu ‘alaihi wasallam, yang telah mendapatkan gemblengan Al-Qur’anul Karim dan mendapatkan rintisan tata cara hidup melalui petunjuk dan pengajarannya.
Suatu waktu, Umar ibnul Khaththab radhiallâhu ‘anhu selaku khalifah Islam mengangkat Abu ‘Ubaidah menjadi komandan pasukan kaum muslimin di Syam, menggantikan Khalid bin Walid. Pada waktu itu, Khalid sedang ada di medan perang menggempur musuh-musuh Islam. Ia tidak segera memberitahukan berita pengangkatannya dan pemecatan Khalid itu, sebagai penghormatan dan penghargaan atas jasa-jasanya.
Sesudah Khalid mendengar berita pemecatannya dan pengangkatan Abu ‘Ubaidah sebagai penggantinya maka dalam serah terima jabatan itu, Khalid berkata, “kini, telah diangkat untuk memimpin kalian kepercayaan umat ini, Abu ‘Ubaidah ibnul Jarrah”. Abu ‘Ubaidah menyambut perkataan itu, “aku mendengar Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam bersabda, yang artinya: “Khalid adalah salah satu dari pedang-pedang Alloh, ya pemuda idaman”.
Itulah jabatan kepanglimaan, tetapi tidak menyombongkan mereka. Itulah kepangkatan dan jabatan tinggi dunia, namun mereka tidak lupa daratan karena risalah atau misi mereka terbatas dan tugas mereka jelas, seperti yang dikatakan Rabi’ bin Amir: “Alloh telah mengirimkan kami untuk mengeluarkan orang yang Dia kehendaki diantara hamba-hambaNya, dari mengabdikan diri kepada hambaNya kepada pengabdian diri kepada Alloh semata”. Kalau jabatan dan kepangkatan tidak bisa menggiurkan dan menggugurkan mereka, begitu pula dengan bujuk rayu dunia lainnya. Pada suatu waktu, Umar ibnul Khaththab mengirim uang kepada Abu ‘Ubaidah sebesar empat ribu dirham dan empat ratus dinar, lalu ia berpesan kepada pesuruhnya, “perhatikan apa yang dilakukannya”. Sesudah uang itu dibagi-bagikan, pesuruh itu melaporkan kepada khalifah Umar. Umar berkata: “Alhamdulillah, yang menjadikan dalam kalangan kaum muslimin orang yang melakukan hal itu”. Ketika khalifah Umar datang ke negeri Syam, ia dijemput oleh para perwira militer dan pejabat sipil. Ia bertanya, “mana saudaraku?”. Mereka bertanya keheranan, “siapa dia, ya Amiral Mukminin?”.
Ia menjawab,”Abu Ubaidah”.Mereka menjawab, “Ia segera datang”. Tak lama, ia datang dengan menunggang seekor unta, lalu ia memberikan salam kepada khalifah. Khalifah lalu memerintahkan para penyambutnya pulang kembali dan membiarkannya bersama Abu ‘Ubaidah. Keduanya pergi ke rumah Abu ‘Ubaidah. Setiba di sana, Khalifah Umar tidak melihat sesuatu apapun selain pedang dan perisainya. Umar bertanya kagum, “mengapa kau tidak memiliki sesuatu?”. Abu ‘Ubaidah menjawab, “ya Amiral Mukminin, ini pun akan menghantarkan kita ke tempat peristirahatan kita”. Umar tidak melihat perabotan dan perhiasan mewah di rumahnya karena ia bukan seorang yang senang duduk-duduk di rumah, tetapi seorang lapangan yang selalu memandang jauh kepada apa yang ada di balik kehidupan ini. Adapun orang-orang yang suka bergelimang dalam kesenangan hidup, mereka sudah terperangkap jaringan setan yang sulit untuk membebaskan dirinya. Dia tahu menempuh jalan hidup dunia menuju perumahan kehidupan abadi di akhirat.
Kalau demikian watak keras dan kuat Abu ‘Ubaidah menghadapi kehidupan ini, mendalam pengertiannya menempuh hidup dan menghadapi orang hidup, konsekuen mempertahankan kebenaran, maka dengan sendirinya ia tidak akan sudi berkompromi dengan kebatilan dan bermanis-manis dengan kecurangan, tidak peduli kedudukan dan asal-usul seseorang yang dihadapannya.
Pada suatu hari, Jabalah ibnul Aiham, raja Ghassan, masuk Islam, sesudah menerima baik surant Rasululloh Shallallohu ‘alaihi wasallam yang mengundangnya untuk menganut agama itu. Pada suatu waktu ia berjalan di pasar kota Damaskus, tiba-tiba kakinya menginjak kaki Muzniah, lalu ia langsung menampar Jabalah. Muzniah lalu digiring kepada Abu ‘Ubaidah untuk diadili. Mereka berkata, “tuan Hakim, orang ini telah menampar raja Jabalah”. “Dia harus ditampar juga!”.”Apa tidak dibunuh?”.”Tidak”.”Apa tidak dipotong tangannya?”.”Tidak, Alloh hanya memerintahkan dilakukan qishash, ditindak sama dengan perbuatannya”. Jabalah berkata, “apakah kalian mengira aku mau menjadikan wajahku perumpamaan bagi wajah nenek moyangku?”. Ia lalu meurad kembali menjadi Kristen dan pergi menyeberang bersama kaumnya ke negeri Romawi. Negeri Syam hamnpir seluruhnya ditaklukkan, tinggal beberapa buah benteng musuh yang masih dipertahanka. Ketika pasukan Islam di bawah pimpinan panglimanya, Abu ‘Ubaidah, hendak memulai pertempuran baru untuk merebut benteng-benteng yang masih dipertahankan musuh itu, tiba-tiba terjadi serangan penyakit menular hebat di kalangan pasukan kaum muslimin. Mendengar berita mengerikan itu, Khalaifah Umar ingin menyelamatkan Abu ‘Ubaidah dari cengkeraman maut itu, lalu ia menulis surat memerintahkan supaya ia keluar dari negeri itu. Isi surat itu antara lain: “Salam sejahtera kepadamu. Lain dari itu, aku ingin menawarkan sesuatu kepadamu, harapanku apabila engkau menerima suratku ini supaya lekas-lekas datang menghadapku!”. Abu ‘Ubaidah paham maksud Khalifah itu, lalu ia membalasnya: “Ya Amiral mukminin, aku sudah paham maksudmu. Aku ada di tengah-tengah pasukan kaum muslimin, tidak bermaksud mengutamakan keselamatan diri atau memisahkan diri dari mereka, hingga Alloh menentukan apa yang Dia kehendaki terhadapku dan mereka, dan bebaskanlah aku dari tawaran dan harapanmu itu!”. Abu ‘Ubaidah rahimahullah wafat karena penyakit menular itu pada tahun 18 H dalam usia 58 tahun.
Khalifah Umar radhiallâhu ‘anhu berkata: “Kalau usia Abu ‘Ubaidah lanjut, akau akan mengangkatnya menjadi penerusku. Kalau Alloh bertanya, atas dasar apa kau mengangkatnya, aku akan menjawab, “aku pernah mendengar Nabi-Mu mengatakan “Dia kepercayaan Umat ini”.
Wallahu a’lam
(Berbagai Sumber.)
No comments:
Post a Comment